Senin, 13 Februari 2017

Gojek Dilarang di Solo?

GOJEK. img source : beritahati

Awal tahun kemarin sempet rame perbincangan tentang Gojek. Duh, transportasi yang satu ini emang ya, sensasional untuk pemberitaan. Lagi-lagi yang jadi persoalan adalah Gojek vs Transportasi tradisional. Seperti yang terjadi di Bandung lalu, supir taksi merusak mobil sipil yang dikira GoCar. Sedih lihatnya. 

Lalu bagaimana dengan Solo? Di Solo pun Gojek juga jadi ikut-ikutan dilarang. Walikota Rudy, juga sudah menyatakan untuk melarang Gojek. Beberapa pro-beberapa kontra. 

Hmm, sebagai warga yang juga menikmati layanan gojek, aku juga jadi mikir sih, mau pro atau kontra ya? Aku nggak bisa langsung bilang kontra atau pro, karena masalah transportasi ini bukan perkara yang mudah. 

PRO GOJEK

Kalau dibilang Pro, aku sih pro dengan eksistensi Gojek ini. Layanam Gojek punya beberapa manfaat :
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil (aka mblusuk) seperti aku, yang daerah rumahku itu sama sekali tidak dilewati angkutan umum jenis apapun, Gojek itu layaknya surga. Gimana engga, kalau naik bis, aku harus maksa banget jalan sejauh 2km ke daerah jalan besar. Udah macam hidup di hutan aja pokoknya. Aku punya tetangga yang sudah sepuh dan sering jalan siang2 dengan bawaan berat sejauh itu untuk jualan sabuk ke pasar. Dengan adanya Gojek, si mbah bisa dengan nyaman menuju pasar tanpa capek bawa yang berat2. 

Bagi generasi mager, Gojek juga jadi ibu peri banget. Males keluar beli makan, daripada sakit maag, mending pesen GoFood. Tinggal bayar dan makan. Terhindar dari sakit lambung dan maag, akhirnya sehat sentausa. 

Bagi generasi yang rumah pacarnya lebih deket ke kota, Gojek juga jadi solusi. Kasian kan kalau pacar nganterin ke rumah yang jauh mulu tiap ketemu, tar gampang masuk angin. Makanya pacarnya digojekin aja, tinggal ketemu di tempat yang lebih dekat. #curhat #truestory

Bagi pencari kerja, Gojek bisa jadi profesi yang menguntungkan. Jam kerja sebagai supir Gojek itu fleksibel lho. Selain itu gampang dapet penumpang, nggak perlu mangkal lama-lama sambil godain cewek lewat yang nggak ada faedahnya itu. #inijugacurhat

Bagi penjual makanan, omset bisa nambah karena banyak generasi mager yang order gofood. Mungkin bisa jadi warung keliatan sepi, nggak ada yang makan dine-in, tapi abang gojek antri tiada henti. Nggak perlu nyediain jasa delivery karena udah ada pihak ketiga yang delivery-in, enaaakk.

KONTRA GOJEK

Walaupun gojek itu enak, manjain banget buat generasi mager dan jadi solusi masyarakat daerah minim transportasi, tapi tetep aja loh, ada kontranya. Kontra ini sering dilihat sebelah mata, dan yang menyedihkan, kalau tidak segera ditangani, kita akan kehilangan jati diri dan budaya bangsa.

Tarif Subsidi GoPay
Adanya subsidi Gopay memang menguntungkan buat customer, tapi enggak buat penyedia layanan lain, seperti bus, taksi, ojek pangkalan dan tukang becak. Yang paling kasihan adalah tukang becak. Padahal subsidi gopay ini adalah trik marketing biar banyak yang menggunakan Gopay. Trik ini berhasil, karena sekarang Gopay sudah menjadi layanan e-money yang paling banyak digunakan di Indonesia. Tapi subsidi ini nggak akan bertahan lama seperti subsidi BBM. Nantinya, harga tarif bayar pakai gopay akan sama dengan pakai cash, karena dana marketing subsidinya sudah habis.

Kepunahan tukang becak.
Tarif gojek yang murah banget (bayangin aja, dari ngemplak ke purwosari cuma bayar 9rb), bisa jadi akan menggusur becak. Di kota lain, Becak itu jarang banget. Solo harus bersyukur masih punya Becak yang rata2 dikendarai sama bapak2 sepuh. Harga becak yang mahal, nantinya bisa tergeser sama gojek yang jauh lebih murah. Aku masih inget, mbecak dari Pondok Assalam ke lampu merah UMS itu habisnya 10rb, deket dan mahal. Emang tricky sih ya, gimana caranya bikin becak itu tetap hidup di Solo dengan Tarifnya yang mahal?

Perbandingan antara penyedia layanan dan konsumen.
Masalah baru nantinya akan timbul ketika jumlah driver gojek meningkat. Kalau kota segede Jakarta dengan mobilitas tinggi sih, nggak papa banyak driver gojek. Tapi kalau Solo? Sejauh ini, mobilitas di kota solo menurutku belum tinggi, belum setinggi Jogja, apalagi Jakarta. Kalau weekday, kamu masih bisalah jalan-jalan santai naik motor di Slamet Riyadi sampe ketiduran di atas motor. Kalau weekend, lebih banyak kendaraan luar solo yang bikin macet. Dengan minimnya mobilitas, kalau nanti terlalu banyak driver gojek, yang ada mereka malah saingan sendiri dan menimbulkan masalah baru. 

So, gimana solusinya? Hmm, aku sih kurang setuju kalau gojek langsung dihapuskan gitu aja. Hal pertama yang harus ada, kenapa sih nggak dibikin forum diskusi sehat antara pemangku kepentingan? Bukan dari pemerintah, penyedia jasa taksi, gojek dan supir becak ajaloh, tapi masyarakat yang memakai. Masyarakat perlu adanya tempat untuk menyalurkan aspirasi. 

Maybe gojek jangan dilarang. Hanya dibatasi. Layanan utamanya bolehlah gofood, tapi go ride jangan dihapus. Dikasih minimal km ajalah untuk order goride. Biar yang rumahnya minim transportasi tetap ada solusi. Lalu, untuk GoCar, mungkin bisa kerjasama dengan taksi gitu yaa :D

Kalau menurut kamu gimana? :D

2 komentar:

  1. Sesuatu yang tidak bisa dihindari adalah perkembangan dan inovasi..
    Bahkan perusahaan besar yang tidak inovatif saja akan kalah.., apalagi soal transportasi..

    Salam dari menggapaiangkasa.com .. Blogger Solo juga.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks udah mampir mas. Betul, perkembangan teknologi perlu disikapi dengan bijak, enggak dikit-dikit anarki ya mas yaa :D

      Hapus

About

authorHi There! Thanks for visiting my blog. You can call me bella.
Learn More →